TRANSMEDIARIAU.COM, Satu dekade silam, pelatih Luis Aragones mengubah wajah sepak bola Spanyol. Tim Nasional (Timnas) Spanyol meninggalkan gaya permainan yang mengandalkan kontak fisik seperti Stoke City era Tony Pulis. La Furia Roja memamerkan operan-operan pendek yang pada akhirnya mengantarkan gelar juara Piala Eropa. Tiki-taka, demikian publik mengenalnya. Memang Aragones pada akhirnya digantikan Vicente del Bosque seusai trofi itu didapatkan. Warisan tiki-taka tetap dijaga Del Bosque. Buahnya mulanya terasa manis. Kapten Iker Casillas bisa merengkuh trofi di akhir turnamen Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012. Kesuksesan itu membuat banyak pelatih memutuskan untuk berkiblat ke Spanyol. Termasuk di antaranya Roberto Martinez dan Brendan Rodgers. Namun, setelah itu, segalanya terasa getir bagi Spanyol. Spanyol gagal lolos ke 16 besar di Piala Dunia 2014 dan takluk dari Italia di 16 besar Piala Eropa 2016. Dari dua turnamen itu, terekspos kelemahan besar dari taktik tiki-taka. Spanyol mengoper bukan demi menciptakan gol, melainkan sekadar memancing lawan coba merebut bola sehingga menyisakan ruang yang bisa dieksploitasi. Hadirlah sebuah masalah ketika lawan menerapkan taktik low-block, menimimalkan ruang dengan menumpuk pemain di kotak penalti. Spanyol mengalami kebuntuan dan hanya mampu melancarkan operan-operan pasif yang kebanyakan gagal mengancam pertahanan lawan. Lopetegui sadar dengan cela dari taktik tersebut. Dia pun menerapkan sejumlah penyesuaian saat ditunjuk sebagai pengganti Del Bosque seusai Piala Eropa 2016 digelar. Dia memilih berkiblat dalam taktik juego do posicion, alias permainan posisi, khas Pep Guardiola; menciptakan serangan dengan tujuan mencetak gol. Kala menyerang, hampir seluruh pemain Spanyol akan bergerak. Full-back kiri dan kanan akan turut maju, sementara winger kiri dan kanan, yang biasa dihuni oleh David Silva dan Isco Alarcon, akan bergerak ke depan dua gelandang tengah. Lalu, tugas Diego Costa sebagai striker Spanyol adalah mengganggu konsentrasi bek tengah lawan. Selain itu, Lopetegui juga menyempurnakan gaya bertahan Spanyol di era sebelumnya. Di era sebelumnya, hanya satu pemain yang boleh melakukan pressing kepada pemain lawan yang menguasai bola dengan dua pemain di belakangnya berjaga-jaga jika upaya tersebut gagal. Di era Lopetegui, Spanyol akan memberikan kondisi tiga lawan satu kepada pemain lawan yang sedang menguasai bola. Taktik ini membawa angin segar bagi sepak bola Spanyol. Selama fase kualifikasi Piala Dunia 2018, mereka punya catatan mencetak 3,6 gol per laga dan hanya kebobolan 3 gol. Namun, kehebatan Spanyol di era Lopetegui tak pernah terasa di putaran final Piala Dunia. Lopetegui dipecat beberapa hari sebelum matchday pertama fase grup karena menerima tawaran melatih Real Madrid. Posisisnya digantikan Fernando Hierro dan dari situlah Spanyol hancur lebur. Hierro memang sempat mendeklarasikan bahwa dirinya sekadar meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Lopetegui. Ya, Spanyol coba memainkan operan dari kaki ke kaki, tetapi bola melulu berkutat di tengah. Mereka kerap mengalami kebuntuan melawan tim dengan taktik low-block. Sebelumnya, kami sempat menyinggung bahwa Spanyol adalah tim dengan penguasaan bola tertinggi di edisi Piala Dunia kali ini dengan 72,3%. Kuasa permainan kembali menjadi milik Spanyol saat bersua Rusia di laga babak 16 besar, Minggu (1/7/2018). Opta mencatat bahwa Spanyol melancarkan seribu lebih operan hingga babak perpanjangan waktu selesai, tetapi gol Spanyol tak hadir dari sana. Gol Spanyol tercipta berkat skema tendangan bebas pada menit ke-12. Kebuntuan gelandang dan penyerang Spanyol membuat Sergio Ramos sampai turut membantu serangan. Masih dari Opta, bek Real Madrid itu disebut telah melancarkan 141 operan dengan setengah di antaranya diarahkan ke kotak penalti lawan. Jumlah ini adalah yang tertinggi di skuat Spanyol. Keaktifan Ramos dalam mengupayakan gol tercipta memicu ringkihnya lini belakang Spanyol. Dengan penguasaan bola yang hanya sebesar 21%, Rusia mampu melancarkan tujuh tembakan. Satu dari tujuh tembakan itu mampu menjadi gol melalui eksekusi penalti Artem Dzyuba usai Gerard Pique ketahuan handball pada menit ke-41. Di akhir cerita, Spanyol kalah 3-4 dari Rusia di babak adu penalti karena intensitas operan mereka tidak mampu dikonversi menjadi gol. Ini membuktikan bahwa tiki taka pasukan Hierro kini sekadar memindahkan bola dan menjaga otoritas permainan tanpa mampu memberikan ancaman berarti.*** Editor: Irul Sumber: Kumparan.com