Ustadz Zarmon Abizar Al Basyir, Elite Politic atau Calon Pemimpin yang Ambisi Berkuasa

Rabu, 29 Agustus 2018

TRANSMEDIARIAU.COM, Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta kesenangan dunia lainnya. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148) Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan. Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah. Al-Muhallab rahimahullah berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135); “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala), dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.” Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٨٣ “Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469) Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.     Penulis: Ustadz Zarmon Abizar Al Basyir, S.Th.i,.MA