TRANSMEDIARIAU.COM, Jakarta - Istilah 'emak-emak' kerap dilontarkan bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno. Dalam beberapa kali kesempatan, Sandiaga mengatakan ingin memperbaiki kesejahteraan masyarakat, termasuk memberdayakan ekonomi untuk kaum perempuan atau emak-emak. Namun, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati meragukan komitmen Sandiaga dan juga calon presiden dan wakil presiden untuk memberdayakan kaum perempuan. "Saya masih sangsi ya karena mereka hanya membawa isu yang populer saja daripada membawa masalah utama perempuan. Isu perempuan yang dibawa terlalu kental nuansa politis," katanya, Jumat (7/9). Mike mengatakan baik pasangan Prabowo-Sandi atau Joko Widodo-Ma'ruf Amin seharusnya membawa solusi dari akar permasalahan yang dihadapi perempuan, terutama di wilayah pinggiran. Mereka perlu mengacu pada data-data empiris terkait isu perempuan. "Masalah perempuan itu multidimensi. Mulai dari ekonomi di mana akses perempuan terhadap pekerjaan belum sama dengan laki-laki, apalagi dengan beberapa aturan yang bias terhadap gender misalnya terhadap tunjangan," paparnya. Masalah lain yang dihadapi wanita di zaman Jokowi-Jusuf Kalla ini juga termasuk masih timpangnya keadilan untuk perempuan. Mieke menyebut bahwa hukum di Indonesia masih misogini, bias terhadap wanita. Kaum hawa marjinal dan miskin juga masih rentan terhadap kekerasan. Belum lagi masalah kepada akses kesehatan di mana tidak semua perempuan mendapatkan perawatan yang cukup terjangkau, karena infrastruktur yang masih terbatas. Di daerah juga masih banyak perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang baik karena budaya. "Tolong berangkat dari situasi-situasi itu dulu yang membuat faktor-faktor kemiskinan berwajah perempuan. Mari diolah dari situ bukan yang populis saja, jargon-jargon saja," imbuhnya. Mike juga menilai bahwa gerakan emak-emak yang marak belakangan ini sendiri sangat instan dan justru tak mempromosikan peningkatan taraf hidup perempuan. Gerakan emak-emak kali ini berbeda dengan Gerakan Perempuan Peduli Indonesia yang bersuara di zaman reformasi 1998 dahulu. Dia menyayangkan Neno Warisman dan Ratna Sarumpaet yang justru mengkritik isu utang atau infrastruktur seperti jalan tol yang menurut Mieke tak mewakili suara perempuan yang ingin mendapatkan perbaikan kesejahteraan. "Seharusnya lebih menyentuh masalah-masalah yang lebih pokok. Isu yang murni mengangkat taraf hidup perempuan," lanjutnya. Tak Pengaruhi Elektabilitas Pakar Komunikasi Politik, Emrus Sihombing, menambahkan bahwa isu 'emak-emak' yang dilempar Sandi masih terlalu sempit. Tidak semua wanita mengalami masalah dengan bahan pokok, apalagi wanita di Indonesia saat ini memiliki masalah yang lebih kompleks dibanding dahulu. Namun dia menilai wajar bahwa Prabowo-Sandiaga maupun Jokowi-Ma'ruf berebut segmen pemilih perempuan. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih perempuan jumlahnya mencapai 92.929.422 sedangkan laki-laki sedikit lebih kecil di angka 92.802.671. "Tapi saya kira enggak cukup hanya emak-emak, segmen lain harus digarap agar bisa bersaing dengan petahana. Saya tidak punya persentasenya tetapi ibu-ibu rumah tangga yang disasar Sandi ini jumlahnya tidak banyak," ujarnya. Emrus juga menyoroti gaya kampanye yang mengeksploitasi ketampanan Sandiaga juga disebut Emrus tak akan berpengaruh banyak pada elektabilitasnya. Sebab, jumlah perempuan terdidik dan profesional di kalangan menengah Indonesia semakin banyak. Hal senada juga diungkapkan Mike. Katanya, kampanye yang menunjukkan kelebihan fisik calon pemimpin negara tak mendidik rakyat. Seharusnya publik dididik untuk berpolitik praktis dengan cara yang baik. "Kampanyenya seksis bicara soal Sandi membuat emak-emak klepek-klepek atau apalah ganteng dan bagaimana gitu itu kurang cerdas. Kurang mendidik," tandas Mieke. Emrus menilai para perempuan maju masa kini akan lebih tersentuh dengan program-program yang mengatasi permasalahan sebenarnya dan relevan dengan mereka. Tak banyak wanita yang melihat sosok pemimpin dari fisiknya. "Wajar kegantengan disukai wanita. Tapi tidak semua perempuan juga memilih berdasarkan itu. Variabel kegantengan hanya segelintir saja," katanya.*** Sumber: cnnindonesia.com