TRANSMEDIARIAU.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan eks koruptor nyaleg, merupakan cermin keberpihakan hakim. Namun, seharusnya MA bisa menggali lebih dalam, tidak hanya positifistik UU belaka. "Bagi Komisi Yudisial, putusan hakim bukan hanya dokumen publik berisi pertimbangan hukum," ujar Jubir KY, Farid Wajdi kepada detikcom, Minggu (16/9/2018). Sejak pertama kali KY berdiri, KY meyakini putusan hakim juga cerminan profesionalisme serta integritas hakim. "Hari ini bahkan, putusan hakim juga bisa dipersepsikan sebagai keberpihakan nilai sekaligus cara seorang hakim berpikir, apakah hanya akan positivis atau ikut juga menggali konten lain di luar aturan hukum positif," ujar Farid. Polemik tentang boleh tidaknya mantan terpidana korupsi mencalonkan kembali sebagai anggota legislatif turut menguji dunia peradilan Indonesia. "Melalui isu ini, publik juga akhirnya dapat melihat bagaimana dan ke mana dunia peradilan kita berpihak," ucap Farid. Pasal 50 UU 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebuah pertimbangan hukum dalam putusan hakim harus memuat 'alasan dan dasar hukum, baik yang bersumber dari hukum positif maupun hukum tidak tertulis', Penyebutan 'hukum tidak tertulis' sejalan dengan makna nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sekaligus kondisi yang secara sosiologis terjadi pada sebuah ruang dan waktu. "Maka terlalu jelas untuk dikesampingkan bahwa sejak tahun 2009 itulah, peradilan kita dikehendaki untuk tidak selalu jadi peradilan yang positivis," cetus Farid. Farid meminta tidak boleh ada vonis apakah 'benar atau salah' tentang putusan yang sudah diambil oleh MA dalam perkara ini. "Yang tinggal adalah bagaimana sebetulnya keberpihakan dunia peradilan kita," akata Farid. Semangat larangan bagi terpidana korupsi untuk menjadi anggota legislatif adalah baik. Namun, putusan MA sekalipun begitu, dapat dipandang sebagai koreksi bagi mekanisme jaminan dimaksud. "Bisa jadi, melarang sama sekali pencalonan memang betul tidak efektif atau cenderung menabrak aturan dasar. Karena masih ada cara lain sebagai bentuk pendewasaan publik, misalnya adalah jangan-jangan menandai/mendeklarasikan sejumlah calon sebagai mantan terpidana korupsi malah jauh lebih efektif," pungkas Farid.*** Sumber: detik.com