Gelar Focus Group Discussion, APPKP Bahas Implementasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024.

Kamis, 28 Agustus 2025

Focus Group Discussion (FGD) implementasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 tentang kesinambungan yang terpecah.

Transmediariau.com, Tanjungpinang - Asosiasi Pengajar Politik dan Kebijakan Publik (APPKP) wilayah Provinsi Kepulauan Riau menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) implementasi Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 tentang kesinambungan yang terpecah, di Ball Room Hotel Bintan Plaza Tanjungpinang, Kamis Pagi (28-08-2025).

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber utama sebagai pembicara, yakni M. Hafidz Diwa Prayoga, S.AP., M.Si. (Ketua Asosiasi Pengajar Politik dan Kebijakan Publik Kepri). Zamzami A. Karim (pengamat politik sekaligus dosen Stisipol), Aswin Nasution (mantan Komisioner KPUD Tanjungpinang), serta Dr. Okshep Adhyanto (Ahli Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji).

Masing-masing narasumber memberikan sudut pandang berbeda terhadap putusan MK tersebut, namun tetap sepakat bahwa putusan ini membawa konsekuensi serius bagi arah demokrasi Indonesia kedepan. Dalam pemaparanya, Hafidz Diwa menilai bahwa putusan MK 135 tidak bisa hanya dipandang sebagai keputusan hukum semata harus dilihat dampaknya terhadap stabilitas politik nasional.

" Putusan ini membuka ruang bagi fragmentasi politik. Ketika kesinambungan pemerintahan terpecah, maka konsistensi kebijakan pun ikut terganggu. Akhirnya rakyatlah yang akan merasakan dampaknya, " ungkap Hafidz.

Ia juga menekankan perlunya keterlibatan masyarakat sipil untuk mengawal agar putusan MK tidak justru menimbulkan ketidakpastian demokrasi.

Sedangkan Pengamat politik Zamzami A. Karim lebih menyoroti konsekuensi politik dari putusan MK tersebut, Ia menilai implikasi putusan MK akan lebih nyata terlihat di tingkat daerah.

" Putusan ini bisa memicu ketegangan baru antar partai, bahkan antar aktor politik lokal, jika tidak diantisipasi, stabilitas politik di daerah akan terganggu, dan hal itu berbahaya bagi demokrasi kita,"  terang Zamzami.

Sementara, Aswin Nasution mantan Komisioner KPUD Tanjungpinang lebih menekankan pada sisi teknis penyelenggaraan pemilu. dalam penilaiannya, penyelenggara pemilu akan kesulitan menjalankan putusan MK apabila tidak segera diikuti dengan aturan teknis yang jelas.

" KPU dan Bawaslu itu bekerja dengan aturan, jika aturan turunannya tidak segera disusun, maka yang akan terjadi adalah kebingungan, itu sangat berisiko memunculkan sengketa pemilu," tegas Aswin.

Ia mendorong DPR dan pemerintah segera menyusun regulasi turunan agar tidak ada ruang multitafsir dalam implementasi putusan MK tersebut.

Disisi Hukum, Dr. Okshep Adhyanto, Ahli Hukum UMRAH juga mengungkapkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, namun pelaksanaannya harus selaras dengan prinsip konstitusi.

" Putusan MK memang final, tapi bukan berarti bebas dari potensi kontradiksi, jika tidak hati-hati, bisa terjadi benturan dengan regulasi lain. Itulah yang menimbulkan ketidakpastian hukum, " tegas Okshep.

Ia menegaskan, demokrasi bukan hanya soal prosedural pemilu, melainkan juga kepastian hukum yang adil dan konsisten.

Selain pemaparan narasumber, diskusi juga diramaikan oleh pandangan kritis dari mahasiswa, media, hingga perwakilan partai politik, beberapa menilai putusan MK 135 harus dipandang sebagai peluang memperbaiki sistem demokrasi, sementara yang lain melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.

FGD ditutup dengan catatan bahwa meskipun putusan MK 135/PUU-XXII/2024 memberi tantangan serius, tetapi melalui dialog, sinergi, dan penguatan regulasi, kesinambungan pemilu dan demokrasi di Indonesia tetap dapat dijaga.