Dua Dekade Terjebak: Mengapa Jalan di Inhil Selalu Rusak Lagi?

Sabtu, 15 November 2025

TRANSMEDIARIAU.COM - Selama dua dekade, masyarakat Indragiri Hilir (Inhil) hanya mengenal satu kenyataan pahit: ruas jalan Kotabaru–Pulau Kijang dan Benteng selalu rusak, diperbaiki, dan rusak kembali. Dua ruas strategis ini tidak pernah benar-benar pulih karena problemnya jauh lebih kompleks daripada sekadar aktivitas perbaikan. Ia adalah cermin dari tiga hal yang saling terkait: kondisi geoteknik ekstrem kawasan gambut, keterbatasan anggaran daerah, dan perencanaan pembangunan yang tidak pernah benar-benar matang serta tidak didukung sinergi antar-pemerintah.

Inhil berada di dataran rendah, kawasan endapan sungai raksasa, dan zona rawa gambut (peatland) yang jenuh air. Lapisan tanahnya terdiri dari material organik lunak dengan daya dukung sangat rendah; ia mudah turun, amblas, dan terus berubah mengikuti pasang-surut air. Tanah gambut bahkan dapat mengalami penurunan alami puluhan sentimeter setiap tahun. Dalam kondisi ekstrem seperti ini, membangun jalan bukan sekadar menabur agregat atau menuang aspal, tetapi memerlukan rekayasa teknis khusus—mulai dari geotextile, preloading, elevasi adaptif, manajemen hidrologi gambut, hingga penanganan jembatan dan oprit secara integral. Tanpa pendekatan berbasis sains ini, kerusakan akan terus berulang.

Namun tantangan teknis itu diperparah oleh keterbatasan anggaran daerah. PAD Inhil relatif kecil, sementara biaya pembangunan jalan di lahan gambut bisa mencapai beberapa kali lipat dibanding tanah mineral. Akibatnya, perbaikan yang dilakukan pemda sering kali bersifat minimalis: sekadar mengurangi titik kritis, bukan menuntaskan akar masalah. Jalan di gambut adalah infrastruktur berbiaya tinggi, tetapi dengan ruang fiskal yang sempit, Pemda cenderung terjebak dalam pola “perbaikan darurat”—bukan pembangunan permanen.

Masalah berikutnya adalah perencanaan pembangunan yang tidak pernah tersusun sebagai grand design jangka panjang. Tanpa peta jalan teknis yang jelas, proyek hanya berjalan parsial, tidak terintegrasi, dan sering berlangsung tanpa kajian geoteknik mendalam. Keseriusan Pemda pun kerap dipertanyakan: apakah perencanaan dilakukan untuk menyelesaikan masalah secara total, atau hanya untuk menyelesaikan siklus tahunan penganggaran?

Lebih jauh lagi, tidak adanya kolaborasi dan sinergi lintas pemerintah —baik dengan provinsi, pusat, maupun kementerian teknis—menjadikan ruas ini seolah menjadi “beban lokal” yang harus ditanggung sendiri. Padahal, dua ruas tersebut memiliki nilai strategis ekonomi dan sosial yang seharusnya dapat masuk dalam skema pendanaan nasional: mulai dari dana infrastruktur kementerian, skema pembiayaan khusus, hingga pola-pola KPBU. Tanpa sinergi, beban gambut selalu jatuh ke APBD yang terbatas.

Akhirnya, Kotabaru–Pulau Kijang dan Benteng bukan sekadar cerita tentang jalan yang rusak. Ia adalah simbol kegagalan kolektif: keterbatasan anggaran, lemahnya perencanaan, kondisi tanah ekstrem, serta absennya keseriusan dan sinergi antar-pemerintah. Jika pola ini tidak diubah, maka 20 tahun berikutnya hanya akan mengulang cerita yang sama—jalan diperbaiki hari ini, rusak kembali besok.