Potensi Besar, Nilai Kecil: Paradoks Kelapa Inhil yang Harus Diakhiri

Jumat, 21 November 2025

Muammar Alkadafi

TRANSMEDIARIAU.COM - Indragiri Hilir (Inhil), Riau, selama puluhan tahun dikenal sebagai Negeri Hamparan Kelapa Dunia. Julukan ini bukan sekadar ungkapan manis. Dengan lebih dari 400 ribu hektare kebun kelapa—salah satu yang terbesar di Indonesia—Inhil memiliki potensi ekonomi yang luar biasa besar. Namun hingga kini, potensi tersebut belum mampu menghadirkan nilai yang sepadan bagi petani. Inhil menjadi gambaran paradoks: daerah penghasil kelapa terbesar nasional, tetapi nilai tambah yang diterima petani justru paling kecil dalam rantai industri.

Paradoks ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga soal tata kelola. Ketika Indonesia gencar mendorong hilirisasi sebagai strategi pembangunan nasional, kelapa Inhil justru tertinggal dibanding komoditas lain seperti nikel dan sawit yang telah lebih dulu masuk dalam arus industrialisasi. Padahal kelapa adalah “tanaman seribu manfaat” dari minyak kelapa, sabut, arang aktif, VCO, hingga produk kesehatan dan kecantikan. Ironisnya, sebagian besar kelapa Inhil masih keluar dalam bentuk butiran atau kopra, membuat nilai tambah menguap dan menyisakan nilai rendah bagi petani.

Akar Permasalahan yang Harus Dilihat Jernih

Pertama, struktur perkebunan kelapa Inhil didominasi petani kecil dengan lahan rata-rata 1 - 2 hektare. Lebih dari 60 persen pohonnya merupakan kelapa tua yang tidak lagi produktif. Produktivitas ideal 2.500 - 3.000 butir per hektare, tetapi di Inhil hanya sekitar separuhnya. Tanpa peremajaan besar-besaran dan terencana, produktivitas tidak akan bangkit.

Kedua, modernisasi dan inovasi teknologi berjalan sangat lambat. Sebagian besar petani masih menggunakan metode tradisional dan belum menerapkan Good Agriculture Practices (GAP). Minimnya teknologi membuat kualitas buah tidak seragam, sehingga sulit memenuhi standar industri nasional maupun global. Di era kompetisi pasar, konsistensi kualitas adalah syarat wajib.

Ketiga, rantai niaga kelapa di Inhil terlalu panjang. Tengkulak dan perantara memegang peran dominan, sementara petani tetap berada di posisi paling lemah. Koperasi yang diharapkan menjadi penopang justru belum berfungsi optimal. Padahal di berbagai negara, koperasi adalah instrumen paling efektif untuk membangun hilirisasi berbasis petani.

Inilah paradoks yang harus diakhiri: potensi besar, nilai kecil, kesejahteraan minim.

Membutuhkan Strategi Besar dan Ekosistem Hilirisasi

Sebagai daerah yang menjadi tulang punggung kelapa nasional, Inhil seharusnya memiliki grand strategy pengembangan kelapa yang jelas. Analisis SWOT menunjukkan bahwa kekuatan Inhil terletak pada luas lahan dan basis produksi; kelemahan pada produktivitas, teknologi, dan kelembagaan; peluang pada meningkatnya permintaan produk turunan global; dan ancaman dari produk impor serta kompetisi negara produsen lain.

Artinya, solusi tidak cukup hanya membangun industri hilir besar atau menanam kelapa baru. Yang dibutuhkan adalah ekosistem hilirisasi lengkap dari hulu hingga hilir, menyambungkan kebun, pengolahan, dan pasar.

Bappenas telah menawarkan tujuh strategi nasional pengembangan kelapa—mulai dari peremajaan, GAP, regenerative agriculture, penguatan kelembagaan, hingga penjaminan penghidupan layak. Namun tanpa eksekusi efektif di daerah, semua strategi itu hanya menjadi dokumen.

Peran Strategis Pemerintah Kabupaten Inhil

1. Percepatan Peremajaan Kelapa Rakyat
Harus menjadi prioritas utama. Pemerintah daerah perlu merancang skema pendanaan inovatif: dana bergulir koperasi, credit guarantee, pemanfaatan dana desa, hingga kemitraan off taker. Peremajaan harus masif, terukur, dan berbasis klaster.

2. Penguatan Koperasi Petani Kelapa
Koperasi harus menjadi aktor sentral: pengumpul hasil, pembeli utama, sekaligus pemilik unit industri pengolahan. Pemerintah perlu mendorong model koperasi modern, sebagaimana dilakukan negara-negara yang sukses membangun industri agro berbasis rakyat.

3. Pengembangan Industri Hilir UMKM dan Koperasi
Hilirisasi tidak berhenti di minyak kelapa atau sabut. Produk seperti VCO, cocopeat, arang aktif, nata de coco premium, hingga kosmetik berbahan kelapa memiliki pasar global yang terus tumbuh. Industri kecil-menengah sangat mungkin berkembang bila mendapat pendampingan dan akses pembiayaan.

4. Digitalisasi Tata Niaga dan Akses Pasar
Perdagangan kini bergerak ke ruang digital. Inhil perlu memiliki marketplace khusus produk kelapa, sistem digital traceability, serta logistik terintegrasi untuk ekspor.

5. Penguatan Sinergi Pusat–Daerah
Pemerintah pusat harus memberikan keberpihakan kebijakan bagi daerah penghasil kelapa utama: standarisasi mutu internasional, fasilitasi ekspor, hingga insentif fiskal industri hilir.

Hilirisasi: Bukan Sekadar Proyek Ekonomi

Pada akhirnya, hilirisasi adalah proyek kesejahteraan. Bila posisi petani tetap lemah dan rantai nilai tidak adil, maka hilirisasi hanya akan memperkaya segelintir industri. Mentalitas pembangunan harus berubah: petani adalah subjek, bukan objek.

Menentukan Masa Depan Inhil

Masa depan kelapa Inhil dapat berubah. Dengan basis produksi terbesar dan peluang global yang semakin terbuka, Inhil bisa menjadi pusat hilirisasi kelapa nasional. Pilihannya kini jelas, Tetap menjadi daerah yang hanya mengirim butiran kelapa murah, atau menjadi daerah yang mengekspor produk bernilai tinggi ke pasar dunia.

Potensi besar kelapa Inhil tidak boleh lagi menghasilkan nilai kecil. Paradoks ini harus diakhiri dan waktunya adalah sekarang.

Penulis: Muammar Alkadafi (Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau)