
TRANSMEDIARIAU.COM - Keputusan kementerian yang membatalkan atau mengalihkan proyek hilirisasi kelapa dari Indragiri Hilir (Inhil) telah membuka kembali luka lama dalam tata kelola komoditas strategis nasional: jarak yang menganga antara potensi besar di daerah dan arah kebijakan di pusat. Di tengah semangat pemerintah mempercepat hilirisasi nasional, terutama di sektor kelapa yang menjadi Program Strategis Nasional (PSN), kasus Inhil justru menunjukkan paradoks yang semakin sulit diterima.
Bupati Inhil H. Herman secara terbuka menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut. Menurutnya, Inhil tidak hanya layak, tetapi paling layak menjadi pusat industri hilirisasi kelapa. Klaim itu bukan retorika kosong. Inhil adalah daerah dengan hamparan kebun kelapa terluas di Indonesia lebih dari 400 ribu hektare dan telah lama dikenal sebagai “Negeri Hamparan Kelapa Dunia”. Artinya, seluruh parameter objektif ketersediaan bahan baku, pengalaman sejarah, struktur ekonomi lokal, dan basis petani sebenarnya berpihak kepada Inhil sebagai pusat pengolahan. Namun, keputusan pusat seolah menutup mata terhadap realitas ini.
Di sisi lain, analisis rantai nilai memperlihatkan paradoks yang lebih memprihatinkan: Inhil menghidupi industri kelapa nasional, tetapi rakyatnya hanya menikmati “remah” dari nilai tambah. Komoditas kelapa masih didominasi penjualan bahan mentah, sementara produk olahan bernilai tinggi VCO, arang aktif, makanan dan minuman olahan, kosmetik - dihasilkan di tempat lain. Dengan kata lain, nilai ekonomi mengalir keluar, sementara beban produksi tetap di pundak petani Inhil.
Keadaan ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah struktural. Petani kelapa Inhil sebagian besar adalah petani kecil dengan luas lahan 1–2 hektare, bergantung pada pohon berusia tua, dan produktivitas yang terus menurun. Rantai niaga panjang, posisi tawar lemah, teknologi pascapanen terbatas, dan kelembagaan koperasi belum optimal. Tanpa hilirisasi di wilayah produksi, petani tidak akan pernah mendapatkan nilai tambah yang signifikan.
Karena itulah pembatalan proyek hilirisasi di Inhil bukan sekadar keputusan teknokratik. Ia berpotensi memperpanjang lingkaran kemiskinan struktural petani kelapa dan memperlebar ketimpangan geografis dalam distribusi manfaat ekonomi. Lebih dari itu, ia menimbulkan kegelisahan sosial dan politik yang tidak perlu.
Ketika kepala daerah secara terbuka menyatakan keberatan dan meminta peninjauan ulang, itu menunjukkan adanya masalah dalam proses komunikasi kebijakan antara pusat dan daerah.
Pemerintah pusat mungkin memiliki pertimbangan tata ruang, investasi, atau kepentingan multisektor dalam menentukan lokasi pabrik hilirisasi.
Namun apa pun alasannya, jika keputusan tersebut justru menjauh dari daerah penghasil terbesar, maka publik berhak mempertanyakan: di mana letak keberpihakan kebijakan?
Hilirisasi tidak boleh menjadi jargon yang bekerja setengah hati. Ia hanya bermakna ketika nilai tambah tercipta di dekat sumber bahan baku, dan ketika petani menjadi subjek bukan objek pembangunan agroindustri.
Apa gunanya roadmap hilirisasi kelapa nasional 2025–2045 jika daerah seperti Inhil malah kehilangan kesempatan strategis?
Di sinilah keputusan pusat perlu ditinjau ulang.
Bukan soal prestise daerah, tetapi soal rasionalitas ekonomi dan keadilan. Jika hilirisasi adalah jalan untuk memperkuat kesejahteraan petani, maka pabrik harus berada di tempat yang paling masuk akal secara ekonomi: dekat sumber produksi.
Lebih jauh dari itu, momentum ini seharusnya menjadi titik balik. Inhil tidak bisa lagi hanya menunggu kebijakan pusat. Pemerintah daerah perlu memperkuat koperasi, mempercepat peremajaan pohon kelapa, mengembangkan UMKM olahan bernilai tinggi, dan menyiapkan ekosistem industri—bahkan tanpa pabrik besar sekalipun. Ketika pusat belum memberi tempat yang layak, daerah harus membangun daya tawarnya sendiri.
Pada akhirnya, hilirisasi bukan hanya soal industrialisasi, tetapi soal keberpihakan. Keberpihakan kepada petani, kepada daerah penghasil, kepada logika ekonomi produktif yang selama ini diabaikan. Jika negara ingin menanam kedaulatan pangan dan menuai kesejahteraan, ia harus mendengar suara akar rumput suara dari tanah yang menumbuhkan kelapa itu sendiri. Inhil layak mendapat perlakuan adil. Dan Indonesia layak melihat hilirisasi kelapa berjalan sebagaimana mestinya: berakar di daerah penghasilnya, dan berbuah bagi rakyatnya.
H. Kartika Roni (Mantan Anggota DPRD Inhil dan Anggota DPRD Provinsi Riau)